Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dear Mama : 100 hari

Sebenarnya kurang suka dengan 7 hari, 40 hari, 100 hari, dan entah berapa lagi angka - angka yang harus dilalui. Bukan karena alasan agama, kurang suka karena semua itu mengingatkan tentang kehilangan yang membuatku nggak bisa apa - apa, nggak bisa mencegah sekuat apapun yang keluarga lakukan, harta maupun ingin berganti tempat dengan Mama, tidak dapat melakukan apa - apa, berasa nggak guna, hopeless. Semua hanya mengingatkan kesedihan yang entah sulit untuk diungkapkan, ingin teriak tapi bukan teriak mggak ikhlas, ingin nangis tapi bukan hanya kesedihan, sepertinya lebih dari itu. Hanya mengingatkan posisi dimana waktu terasa berhenti.



Sampai sekarang belum bisa ke rumah sakit, sudah coba pergi ke rumah sakit, karena keponakan sakit, tapi rasanya masuk ke rumah sakit hanya memberikan perasaan patah hati yang teramat dalam. Apalagi kalau rumah sakit di mana Mama dirawat, waaah rasanya langsung otomatis sedih berkepanjangan, mengingat betapa dinginnya ruangan ICU, tangisan pecah yang ternyata nggak hanya aku saja, ada beberapa keluarga pasien yang saling menguatkan.

Fase - fase kesedihan, amarah, penyesalan, ketidak kemampuan, tidak berdaya, perlahan - lahan berproses untuk ikhlas, entah aku sudah ikhlas atau belum, sepertinya ikhlas itu tingkatan yang paling tinggi dalam merasakan kehilangan, kadang masih ngilu, kadang masih bertanya - tanya dengan mengapa semua terjadi. Entahlah aku dalam tahap apa, tapi selalu menikmati setiap prosesnya dalam menjalani hidup. Mama seperti alam semesta bagiku, alam semestaku runtuh dan aku merasa kosong. Ya sudahlah, yang terpenting dan masih aku jaga sampai sekarang adalah

Jangan pernah menyalahkan diri sendiri, semua merupakan takdir yang nggak bisa dicegah meski berusaha untuk memeluk Mama dengan erat. Jalan yang terbaik memang seperti ini.

Seratus hari dan masih ada yang ke rumah untuk mengungkapkan rasa dukanya, kadang rasanya pengin mengusir saja, tapi orang - orang memiliki tujuan baik untuk ikut mendoakan Mama. Tapi rasanya ingin memohon kepada orang - orang yang datang, jangan bersedih, kami sekeluarga memiliki cara tersendiri mengahadapi semua ini.

Kadang, yang punya rumah malah yang menenangkan para tamu yang nggak percaya Mama sudah tiada.

Seratus hari sepertinya bukan sedih karena kehilangan, mungkin sekarang fasenya adalah sedih karena nggak bisa cerita banyak tentang apa yang telah aku lakukan, kejadian apa yang membuatku sedih, membuatku senang, karena biasanya selalu cerita ke Mama, sekarang nggak ada lagi teman curhat. Meskipun cerita yang begitu receh, beli baju baru, "Cantik nggak,Ma?" , "Cocok nggak, Ma?"

Bagaimana dengan Bapak? Luuuaarrr biasa sekali sabar dan tabahnya, sering bilang kalau cowok tuh sedihnya nggak ditunjukkan lewat air mata, tapi jauh di dalam hati merasa kehilangan. Dan sekarang gencaaaaar menyindir diriku yang belum kenalin cowok siapapun ke rumah.πŸ˜‚πŸ˜‚. Ragu juga nih, sebenarnya Bapak pengin aku nikah, atau sebenarnya udah bosen lihat aku di rumah mulu.



"Temen - temen bloggermu yang sudah nikah, sering dianter jemput kalau ada event blogger?" "Nikah sana biar ada yang anter jemput kalau ada event blogger"

YAAAAAA... INI MAU CARI SUAMI ATAU SUPIR?πŸ˜πŸ˜πŸ˜‚



"Temen bloggermu ada berapa banyak? Kalau kamu nikah, mau undang berapa orang?"

laaah pak, aku aja belum kenalin calon udah mikir undangan aja, aamiin aja deh πŸ˜œπŸ˜œπŸ˜—πŸ˜‚



"Di komunitas bloggermu, yang belum nikah siapa aja, kamu doang?"

laaaah pak, melas amat, bukan aku doang laaaahπŸ˜¨πŸ˜±πŸ˜€πŸ˜‘πŸ˜‚πŸ˜‚



"Temen bloggermu itu nggak ada yang cowok? Kok nggak ada yang nyantol?"


laaaah pak, kepo amat ahπŸ˜±πŸ˜ΆπŸ˜‚πŸ˜‚



Daaaaan masih banyak lagi sindiran dari Bapak, kalau ditulis bisa jadi satu postinganπŸ˜‚πŸ˜‚. Bapak sih nyantai aja kalau nyindir, becanda tapi juga sepertinya serius pengin aku kenalin cowok ke rumahπŸ˜‚. Tapi akunya itu loh langsung baper, yaaaaa siapa yang nggak mau nikah, pak!πŸ˜·πŸ˜·πŸ˜‚πŸ˜‚

Posting Komentar untuk "Dear Mama : 100 hari"