Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bulan Ini, Tiga Tahun Yang Lalu





Bulan ini, tiga tahun yang lalu..


Ketika sampai di rumah, ternyata sudah banyak tetangga yang berkumpul di depan, ada yang menyiapkan keranda, menyiap melati dan beberapa bunga, ibu-ibu siap meronce bunga.

Rasanya bingung, ternyata harus menjalani beberapa proses sebelum tiba saatnya orang yang saya cintai dimakamkan.

Saya nggak boleh diam di rumah, nanti bengong. Akhirnya masku (kakak kedua) nyuruh untuk ngumpul bareng ibu-ibu komplek.

Saya cuma duduk saja. Nggak tau mau ngapain. Proses untuk pengantar jenazah dari Rumah Sakit hingga ke rumah, ternyata membutuhkan waktu.

Ternyata banyak ibu-ibu yang berlalu-lalang, bapak-bapak menyiapkan untuk tempat untuk memandikan jenazah, dll.

Satu persatu mendekati saya.

“Mbak Sari, udah ada cowok? Nikah aja sekarang.”

“Mbak Sari yang tabah ya, sekarang jaga Bapak.”

“Mbak Sari, Bapaknya dijaga ya.”


Tapi tidak ada yang menanyakan kabar saya.


Seakan-akan ada tanggungjawab baru yang akan saya pikul, saya nggak keberatan, tapi memasuki “dunia yang baru” masih clueless.

Menikah? Entah keluar dari mulut siapa yang berkomentar untuk melangsungkan pernikahan saat itu juga, dan sebel banget rasanya. Hari ini (saat itu) merupakan hari sakral bagi saya. Kok bisa mencampuri pernikahan saya dengan pemakaman. Hari ini cinta, perhatian saya tercurahkan penuh pada Almarhumah. kok bisa-bisanya..

Reaksinya saya ketika tertimpa keadaan yang “luar biasa”, reaksinya cuma bengong tapi mikir,

“kok bisa ya?”

“Padahal nggak dapat firasat apa-apa”

“Logikanya kalau ke rumah sakit, ingin sehat, kok bisa gini?”


Pada akhirnya saya menyadari, jika manusia mahkluk yang lemah, jika sudah ketetapanNya tak akan bisa diubah.

Saya harus melakukan sebaik-baiknya usaha ketika berada dalam situasi tersebut. Saya melakukan semua proses dengan menahan tangis,

“Jangan nangis ya Mbak, biar Mama tenang”.

Katanya kalau ada air mata yang jatuh di tubuh jenazah, nanti dia gak tenang di dunia sana, dan entah apalah kata orang saat itu. Ajaibnya, saya nurut saja. Saya nggak nangis saat memandikan Mama. Oiya, saya 3 bersaudara. Kakak pertama itu cewek, kakak kedua itu cowok. Karena Kakak pertama rumahnya jauh, luar kota, maka tidak bisa segera sampai ke rumah.

Jadi, saya sendiri yang memandikan Almarhumah (ditemani satu orang, ibu-ibu yang bantu tata cara memandikan jenazah). saat itu rasanya beneran udah ikhlas kalau lihat mama tidur.

Sebenarnya, nggak pernah siap, nggak tau mau ngapain, tapi ya ikut aja apa kata petugasnya, prosesnya alhamdulillah berjalan dengan lancar, cium pipi Mama terakhir kali membuat saya berpikir, ternyata apa yang saya miliki tidak pernah mengembalikan apa yang sudah menjadi hakNya.

Ingin rasanya, ambil saja nyawa saya untuk memperpanjang umur Mama, ternyata hal itu tidak pernah terjadi.

Usia saya saat itu belum genap 30tahun, masih banyak hal yang ingin saya lakukan bersama Mama.

Saat itu, saat kehilangan, saya tidak butuh untuk disemangati, bukannya sombong, tapi seseorang menerima keadaan di mana seseorang yang dicintainya meninggal dunia, pengin gitu diberi waktu untuk berduka, nangis, sedih itu bukan suatu kelemahan. Itu hal yang wajar, itulah manusia.

Saya belum bisa harus berdiri di kaki sendiri, saya belum siap untuk melihat ke depan dengan tanggung jawab yang berbeda. Berilah waktu kepada orang yang berduka. Siap berada di samping orang yang berduka merupakan bentuk kepedulian yang heart warming.

Namun, saya dengan lapang dada menerima ucapan belasungkawa dengan berbagai macam cara, mungkin setiap orang memiliki rasa simpatinya dengan berbeda.

Meskipun lelah, ternyata ada hal yang membuat saya nyaman, ketika teman-teman berada di sini menanyakan kabar. Hal sederhana yang saya tunggu dari tadi, yaitu menanyakan kabar saya.

7 Hari

100 Hari

1000 Hari.

Saya masih menangisi kepergian Mama.


Beliau menjadi pusat tata surya bagi saya. Kalau ada Mama, semua baik-baik saja, saya bisa bermanja, dunia akan baik-baik jika saya pulang dan disambut hangat sama Mama.

Mama selalu membela saya. Saat kecil saya bertengkar sama mas, ternyata yang dibela itu saya, mas yang dimarahi. Ternyata sekarang ini dunia tak sama lagi.

Masih banyak yang belum saya ketahui tentang dunia ini, bagaimana bisa saya jalan sendiri tanpa dampingan Mama?

Setiap tahun, saya selalu menulis di blog ini. Menulis setahun belakang ini, apa yang saya rasakan, bagaimana pandangan saya tentang hidup ini.

1000 hari.

Sebenarnya nggak begitu saklek sama adat Jawa, tapi pengin bikin acara sebagai ucapan syukur karena para tetangga yang saat itu banyak banget membantu.

Tapi, 1000 hari Mama ternyata tidak ada acara apa-apa, tapi Mama masih ada di hati kami.

Ternyata, saya mengalami mimpi buruk, ah bukan.. itu kenyataan.

Hampir saja saya harus merelakan Bapak, nggak kebayang, dan nggak mau mengalami hal itu. Tunggu, tunggu saya lebih lama lagi. Saya masih butuh bimbingan Bapak.

Awalnya, saat siang hari, Bapak mengeluh sakit di dada, katanya denyut jantung cepat dan terasa nyeri. Karena Bapak nggak ada riwayat jantung, saya saat itu nggak ngeh kalau Bapak kenapa-kenapa, dikira hanya mag atau Gerd, telpon mas juga katanya mungkin Gerd karena banyak pikiran. Install salah satu aplikasi kesehatan, ternyata disuruh ke IGD karena keluhan ada di Jantung.

Akhirnya pesan Gocar, mana saat itu lagi macet karena mendekati jam-jam orang beli takjil dan ada truk mogok.

Di perjalanan, Bapak memegang tangan saya, sambil berucap kalimat syahadat. Saat itu saya langsung ngeblank. Saya harus melakukan apa, doa apa yang harus saya ucap, saya sendirian saat itu, bingung, hanya bisa nahan tangis, sambil memelas pada Sang pencinpta.

“Ya Allah, jangan sekarang, saya masih butuh Bapak. Kumohon jangan sekarang, kumohon..”

Saya harus menahan tangis, karena jika lemah, malah Bapak yang bingung, bapak malah cemas kalau saya nangis dan nggak bisa berhenti. Saya tepuk-tepuk pelan tangan beliau dengan lembut, mencoba menenangkan, karena hampir sampai Rumah Sakit.


“Kok saya sendirian ya menghadapi situasi seperti itu?”


Saya nggak tau apa tujuan Allah, memposisikan saya dalam situasi yang tidak ingin saya bayangkan.

Saya hanya mengandalkan diri saya sendiri, saya mencari kekuatan saya sendiri jauh di dalam diri, apakah saya masih ada kekuatan? Ya harus!


1000harinya Mama,

Tahun ini rasanya ingin bercerita banyak hal. Iya, hanya ingin bercerita, duduk berdua dengan Mama, bercengkerama atas semua apa yang saya lalui setahun belakang ini.




Rumah yang perlahan-lahan saya isi tanaman.


Teman yang menetap dan teman yang pergi tanpa penjelasan yang membuat saya bengong, “dia kenapa ya?”

Teman yang tak terduga ternyata memberikan saya semangat (banyak yang peduli).

Teman yang hanya kepo saja, nggak apa-apa.. mungkin mereka sungkan untuk berbicara dengan saya, atau bingung mendekati saya. Nggak apa-apa, orang lain punya hak untuk menilai. Tapi, saya tetap menjadi diri saya.

Ingin bercerita jika saya patah hati dengan tidak baik-baik saja. Senang juga karena Mama hadir dalam mimpi ketika saya tahu jika mental saya berubah. Saya sedang memperbaiki luka yang ada. Tunggu ya Ma, saya akan menjadi wanita cantik yang memiliki banyak pesona.

Bercerita tentang satu tahun ke belakang. Ternyata saya bukan little girl, tapi saya berubah jadi seorang wanita.

Saya juga akan bercerita jika saya pernah salah, pernah terjatuh, pernah beda pendapat dengan Bapak, tapi semua itu suatu proses yang akan saya jalani, yang terpenting saya tidak lari dari tanggung jawab, saya tidak menyerah dengan impian saya.

Banyak.. banyak hal yang ingin saya ceritakan, anak bungsunya Mama ini berharga, saya bangga dengan diri saya, dan saya ingin Mama bangga memiliki saya. Nanti, kita berdua akan bercerita tanpa akhir, tanpa ada jarak, tidak bercerita di dalam mimpi, tapi benar-benar melihat Mama, dan memeluk Mama.

Posting Komentar untuk "Bulan Ini, Tiga Tahun Yang Lalu"