33 Tahun (Apa yang saya cari?)
Ucapan kali ini, lebih menyenangkan, karena banyak yang mendoakan untuk kebahagiaan saya, tidak lagi berpusat untuk disegerakan menikah, ya meskipun ada beberapa yang mendoakan untuk segera menikah. Kalau didoakan yang segera menikah, antara mengaminkan dan di lubuk hati ada rasa khwatir, atau beban, “Oiya, kenapa ya saya sampai sekarang belum menikah?”
Kembali lagi, seseorang yang mendoakan yang baik, saya cukup mengaminkan, siapa tahu dari doa teman-teman, saudara dan lainnya, menjadi jalan kemudahan untuk mencapai tujuan yang saya idamkan.
Sesungguhnya saya terharu dan amat sangat merasa cukup jika mendapatkan kado berupa doa karena saya sudah tidak memiliki mama. Beberapa kali, jika bengong atau melamun, terlintas pemikiran,
“Mama sudah nggak ada, nggak dapat lagi doa dari orang tua, biasanya Mama yang sering mendoakan. Kalau saya berdoa, bakalan cepat dikabulin nggak nih sama Allah SWT?”
Yaaa… begitulah kalau overthinking, Apa saya sudah jadi anak yang soleha? Apa doa saya sampai ke Mama?
Doa - doa kebahagiaan.
Doa - doa kebahagiaan dari siapapun sangat berharga, membuat saya mendorong untuk lebih mencintai diri sendiri, lebih mengenal diri sendiri, lebih menerima jika saya merupakan pribadi yang utuh, kelebihan dan kekuraang, memiliki kesalahan, memiliki masa lalu, penyesalan, insecure, kelemahan, memiliki kapasitas pemecahan masalah sesuai dengan pemikiran dan pemahamanku, prasangka, pribadi yang sama seperti manusia lainnya.Bahagia dengan cara saya untuk menjalani apa yang ada di depan, saya melakukan yang terbaik sesuai dengan kapasitas saya saat itu.
Karena itu, saya akan berubah sesuai dengan pemahaman dan pemikiran saya saat itu, mungkin saya saat ini berbeda dengan saya sebulan yang lalu, bukan plin-plan tapi manusia itu terus mengalami perubahan, sekecil apapun itu.
Doa - doa yang saya dapatkan menjadi penyemangat, dorongan untuk menjadi lebih baik meskipun saya tidak akan menjadi sempurna. Doa - doa yang saya dapatkan, saya baca dengan perlahan-lahan, mengaminkan dengan bersungguh-sungguh.
Doa yang baik, akan kembali pula kepada orang yang mendoakan, semoga dibalas berlipat-lipat dengan kebaikan.
Apa yang sedang saya cari?
Tidak sengaja ada obrolan ringan dengan sahabat saya, kemudian ada kesimpulan, kira-kira begini,“Punya banyak mantan, tapi nggak ada yang jadi (jadi suami/menikah)”.
Tentu saja, obrolan itu dengan nada gurauan..
Kemudian terlintas pertanyaan (sueerr bukan overthinking),
“Apa sih yang saya cari?”
Cari yang sempurna? Nggak juga.
Cari kriteria cowok tertentu? Nggak juga.
Jangan-jangan saya bukan tipe orang yang berkeluarga? Ahh nggak deh, saya menjalin hubungan yang terakhir, sudah niat untuk menikah eh ternyata kandas juga.
Jangan-jangan saya terlalu takut untuk menjalani pernikahan? Khawatir sih ada, tapi bukan ketakutan, karena yang menjalani pernikahan itu 2 orang bukan salah satu.
Lantas, apa sih yang saya cari?
Ternyata, beberapa tahun belakangan ini, saya memiliki pemikiran yang salah, eh bukan salah sih, karena saat itu, ya kapasitas saya seperti itu..
Ternyata saya termasuk orang yang bucin, saling sayang sih wajar, tapi udah tahap bucin. Kalau ingat kebucinan saya ke mantan, rasanya geli sendiri, sebel juga.
Bucin, menaruh ekspektasi suami idaman ke pasangan (patjar), dan lupa jika saya seharusnya mencintai diri saya terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain. Saya lupa jika diri saya ini berarti, diri saya ini berharga, mengapa menomor satukan kepentingan patjar, tapi lupa kalau saya tersakiti, saya memaklumi, padahal harus ada batas toleransi, red flag.
Bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, bukan berarti merendahkan nilai yang ada pada diri saya.
Ternyata, beberapa tahun belakangan ini, saya memiliki pemikiran yang salah, eh bukan salah sih, karena saat itu, ya kapasitas saya seperti itu..
Ternyata saya termasuk orang yang bucin, saling sayang sih wajar, tapi udah tahap bucin. Kalau ingat kebucinan saya ke mantan, rasanya geli sendiri, sebel juga.
Bucin, menaruh ekspektasi suami idaman ke pasangan (patjar), dan lupa jika saya seharusnya mencintai diri saya terlebih dahulu sebelum mencintai orang lain. Saya lupa jika diri saya ini berarti, diri saya ini berharga, mengapa menomor satukan kepentingan patjar, tapi lupa kalau saya tersakiti, saya memaklumi, padahal harus ada batas toleransi, red flag.
Bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangan, bukan berarti merendahkan nilai yang ada pada diri saya.
sengaja miring |
Misalnya nih, saya punya prinsip, tidak ingin punya pasangan yang manipulatif. Nah, ternyata, dalam perjalanan hubungan percintaan, saya mengetahui tanda-tanda patjar bersikap manipulatif, tapi saya mengabaikan, sekali dua kali entah berapa kali saya selalu memaafkan, mungkin karena bucin. Nah, sikap saya yang seperti ini salah, merendahkan nilai diri sendiri.
Bukan pilah-pilih pasangan, tapi setiap orang memiliki batasan, kalau hanya sekedar berbeda pendapat antara nikah di gedung dan nikah di rumah, bisa dimaklumi, tapi jika sikap lain dari pasangan yang membuat diri kita tersiksa, overthingking selalu, lama-kelamaan kok diri ini jadi rendah banget, kenapa harus diterima.
Ya saya punya salah, duh rasanya geli banget kalau ingat kejadian yang dulu-dulu. Lantas, saat ini apa yang sedang saya cari?
Saat ini saya sedang tidak mencari apa-apa, atau siapa. Saya ingin menjalani apa yang ada di depan, menjalani sebaik mungkin. Memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan, memperbaiki atau mempererat hubungan saya dengan manusia meskipun cukup susah, tapi nggak boleh menyerah, hubungan dengan kucing yang saya sayangi, bertanggung jawab dengan pekerjaan yang saya jalani, hubungan kerjasama dengan berbagai partner. Ya apa saja yang ada di depan saya.
Bukan berarti saya tidak ingin menikah, hanya saja bukan prioritas. Saya akan berbicara tentang pernikahan jika ada yang serius sama saya. Saya nggak mau ngoyo untuk mencari suami. Pengin fokus ke diri sendiri dan hal lain. Masa lalu, membuat saya lelah, tapi nggak boleh putus asa.
Untuk laki-laki yang mendekat, saya tidak akan membebankan ekspektasi saya pada dia, tidak akan membebankan apa yang tidak saya dapat dari mantan saya ke pasangan baru saya (nantinya).
Ya saya punya salah, duh rasanya geli banget kalau ingat kejadian yang dulu-dulu. Lantas, saat ini apa yang sedang saya cari?
Saat ini saya sedang tidak mencari apa-apa, atau siapa. Saya ingin menjalani apa yang ada di depan, menjalani sebaik mungkin. Memperbaiki hubungan saya dengan Tuhan, memperbaiki atau mempererat hubungan saya dengan manusia meskipun cukup susah, tapi nggak boleh menyerah, hubungan dengan kucing yang saya sayangi, bertanggung jawab dengan pekerjaan yang saya jalani, hubungan kerjasama dengan berbagai partner. Ya apa saja yang ada di depan saya.
Bukan berarti saya tidak ingin menikah, hanya saja bukan prioritas. Saya akan berbicara tentang pernikahan jika ada yang serius sama saya. Saya nggak mau ngoyo untuk mencari suami. Pengin fokus ke diri sendiri dan hal lain. Masa lalu, membuat saya lelah, tapi nggak boleh putus asa.
Gagal berarti coba lagi, bukan menyerah.
Untuk setiap laki-laki yang mendekat, saat ini ada satu orang yang bertahan, makasih ya mas.. uhuk..
Untuk laki-laki yang mendekat, saya tidak akan membebankan ekspektasi saya pada dia, tidak akan membebankan apa yang tidak saya dapat dari mantan saya ke pasangan baru saya (nantinya).
Dengan atau tanpa pasangan, saya tetap bahagia. Karena bahagia berasal dari diri sendiri. Lah, trus pasangan gunanya apa? Saya masih berpendapat jika pasangan sebagai support system, mungkin nanti pemikiran saya berubah.
Punya pasangan yang sayang ke saya, tentu senang, saya juga menyanyangi pasangan saya tapi nggak bucin seperti yang lalu, geli banget deh kalau ingat.
Banyak wanita yang lebih cantik dari saya, banyak wanita yang lebih muda dari saya, banyak yang lebih baik dari saya. Maka dari itu, saya ingin memiliki pasangan yang merasa cukup memiliki saya, kelebihan maupun kekurangan.
Posting Komentar untuk "33 Tahun (Apa yang saya cari?)"
Maaf moderasi terlebih dahulu, karena banyak spam. Terimakasih yang sudah berkomentar :)