Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menerima, Melepaskan atau Melupakan?




Beberapa waktu yang lalu, saya bangun tidur dalam keadaan nangis, kurang lebih 15 menit nangis sambil meluk bantal. Bukan hal baru seperti itu, tapi bukan juga kebiasaan. Sepertinya bulan lalu pernah juga, tapi mata hanya basah, nggak sampai nangis beberapa menit.

Hmm.. apakah kelak saya harus terbuka dengan calon suami kalau saya memiliki “kebiasaan” bangun tidur sambil nangis? Takutnya nanti Pak Suami bingung kalau lihat saya tiba-tiba nangis, dikira KDRT atau nangis karena nggak betah denger suara ngorok Pak Suami.😝

Saya menangis karena mimpi bertemu Mama. Mimipinya sederhana, Bapak, (almh) Mama dan Saya lagi jalan-jalan (beneran jalan), disela-sela menikmati perjalanan, Bapak mampir dulu ke tempat makan, sambil menunggu beliau, saya dan Mama ngobrol santai, karena kami berdua masih kenyang, cukup ngobrol sambil minum segelas es teh manis.

Perjalanan kami lanjutkan kembali, kemudian Mama berhenti, mampir bentar ke warung.

“Mama mau beli ayam goreng sebentar, biasanya Sari gampang lapar. Nanti makan bareng sama Mama di rumah.”


Tapi saya maunya ikut Mama, pengin di samping Mama terus.


“Mama cuma pergi sebentar, ke warung aja.”


“Tapi Mama perginya udah terlalu lama”. kalimat terakhir yang saya ucapkan sekaligus membuat saya mengerti jika ini hanya mimpi semata, bangun tidur nggak terasa kalau mata udah basah dan malah lanjut nangis selama +/- 15 menit.

Mama udah terlalu lama pergi, nggak tau sampai kapan perginya, nggak tau kapan bisa ketemu, apa Mama nggak kangen sama Sari?


Kewalahan dengan perpisahan.

Secara logika, orang yang sedang sakit, pasti penginnya sembuh, begitu pula ketika menemani Mama, selalu berdoa agar Mama sembuh, masih banyak hal yang ingin kami berdua lakukan, Mama ingin liburan ke Jogja, Mama diam-diam mengumpulkan brosur catering karena pengin segera saya menikah dan menggelar resepsi yang wow (karena anak bungsu sebagai "penutup").

Tiba-tiba Mama sudah tidak ada...

Saya nggak tau bagaimana menangani perpisahan apalagi ketiadaan manusia di bumi. Bagaimana caranya ketemu Mama kalau keberadaan beliau sudah tidak ada? Logika saya berasa perang dengan kenyataan.

Ritual mengantar Mama kedalam keabadian terasa singkat, tapi setelah itu kehilangan terasa lama, Mama yang selalu saya anggap sebagai pusat dunia, kemudian tidak ada lagi apa motivasi saya untuk hidup? Apa alam kekal itu ada? Apa benar nanti akan bertemu kembali?

Bagaimana bisa saya dipisahkan dengan Mama? Apakah saya kurang baik jadi anak? Apakah Tuhan menghukum saya? Apakah ini hukuman karena saya pernah bandel. Mengapa dipisahkan? Apa tidak bisa ditukar atau umur saya dikurangi agar Mama bisa hidup lebih lama, agar saya bisa cepat-cepat mengabulkan segala keinginan Mama, dan berkata pada beliau, "Apakah saya sudah menjadi anak yang baik?"

Saya kewalahan menghadapi perpisahan, bahkan setelah 7 hari Mama, para tamu dan saudara banyak yang pulang, rumah mulai sepi, saya nggak tau mau ngapain lagi, apa tujuan hidup saya, jika Mama sudah tidak ada lagi. Apa selanjutnya?

Bahkan saya sempat memiliki niat untuk tidak memiliki anak, atau suami. Mungkin kelak jika saya menikah, saya tidak ingin punya anak. Karena saya nggak mampu menangani kehilangan yang tiada. Kehilangan orang tua berasa dunia saya runtuh, nggak tau motivasi untuk hidup, apalagi nanti kalau punya suami, dan anak, saya nggak mampu untuk kehilangan seseorang yang saya cintai, apalagi anak, waaah... nggak bisa bayangin gimana merasakan kehilangan anak, nyawa saya seakan ikut tercabut. 

Hidup selalu memberikan waktu manusia untuk berubah, meskipun pemikiran saya perlahan berubah, saya mengingkan kehadiran anak (semoga dipercaya), tapi masih ada ketakutan.

Mengalami perpisahan yang sulit untuk dimengerti ternyata ada dampaknya hingga sekarang...

Ternyata selama ini saya hanya berusaha untuk melupakan.

Menurut saya, hal yang sia-sia untuk dilakukan adalah melupakan, karena seburuk apapun memori yang dimiliki, nggak akan mudah untuk dilupakan.

Ternyata hal itu yang saya lakukan, berusaha melupakan, berusaha baik-baik saja, berusaha semua "berjalan normal" pada waktunya. 

Saya berusaha melupakan kehilangan Mama, berusaha untuk biasa saja, toh nanti bisa ketemu lagi. Pemikiran saya adalah, "Besok/suatu saat nanti saya bertemu dengan Mama", saya fokus dengan "Besok" hal yang tidak ada ukurannya, besok itu kapan, nggak ada yang tau, saya fokus ke depan, tapi lupa jika saya hidup untuk saat ini, saya tidak menyiapkan sesuatu atau cara bagaimana saya menjalani hari ini. Saat ini.

Secara "tidak sadar" melupakan kesedihan dengan cara mengabaikan apa yang saya lalui, apa yang saya rasakan karena saya fokus dengan hal yang ada di depan atau mungkin saya memanipulasi pikiran jika saya punya "tujuan baru" yaitu "Besok ketemu Mama lagi".

Saya percaya akan kiamat dan hari setelahnya. Tapi saya mengabaikan perasaan saya, mengabaikan hal-hal yang melow, padahal nggak ada salahnya jika masih merasa sedih.

Hingga suatu hari saya merasakan kehilangan lagi, ya benar kehilangan pasangan, ditinggal rabi. Saat saya nulis ini, saya sudah baik-baik saja, tapi ketika mengalaminya, waah.. saya berasa kayak.. Sari mau dikasih kehilangan apa lagi nih, Tuhan....

Sudah sayang-sayangnya, malah kayak begini, pisahnya dengan cara tidak baik, meskipun pada akhirnya saya bersyukur tidak jadi menikah..😂

Karena pengabaian akan rasa kehilangan, membuat saya nggak tau harus bagaimana selanjutnya. Apakah saya nggak berharga? Apakah saya nggak worth it untuk bahagia dengan orang yang saya cintai? Saya sudah berikan segalanya, kok jadi begini?

Waduuuuuh... pokoknya logika perang mulu dengan kenyataan..

Pada akhirnya, saya nggak kuat secara mental dan raga, saya bertemu dengan psikolog, rutin melakukan konsultasi, sampai sekarang sih masih, tapi nggak rutin, cuma ngobrol kayak teman aja..

Apakah sekarang merasa lebih baik?

Tidak, saya masih kewalahan dengan perpisahan. Tapi, saya akan terus mengalami proses untuk memahami bagaimana hidup ini berjalan.

Saat ini, saya selalu berusaha untuk memahami apa yang saya rasakan, apa maunya saya. Saya selalu berusaha mengenal emosi apa yang saya rasakan saat ini, jika saya merasa sedih, saya akan fokus "Apa yang membuat saya sedih?", bukan fokus ke "siapa yang membuat saya sedih?". Jika sedih, apa yang harus saya lakukan.

Saya memang sengaja untuk tidak fokus dengan "siapa" karena kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang perbuat pada kita. Karena kita hanya bisa mengendalikan apa yang ada dalam diri kita.

Jika saya sedih karena perbuatan seseorang, saya harus mengenali emosi yang saya rasakan saat itu. Sedih karena apa? Sekarang maunya gimana? Selanjutnya gimana? Misal sedih sekaligus marah karena ada yang bohong ke saya, saat ini saya marah, biasanya kalau marah saya alihkan ke nonton drakor, selanjutnya gimana? Nah, ini perlu dilihat seberapa peliknya permasalahan itu.

Apakah saya mampu menerapkan hal tersebut, kadang bisa, kadang ambyar..

Tapi ada beberapa hal yang saya pegang, salah satunya adalah pemahaman jika manusia bersifat dinamis, berubah, entah berubah jadi lebih baik, berubah baik menurut versi dirinya sendiri atau apapun itu, karena manusia bersifat dinamis, maka yang harus saya percaya, yang harus saya jaga adalah diri sendiri.

Sekarang ini saya hadir untuk diri saya sendiri, kadang kalau lagi terasa berat, saya kasih waktu untuk diri sendiri, ngobrol sama diri sendiri..

"Bentar deh Sar, kamu kecewa karena apa? Coba diurutkan kejadian hari ini atau beberapa waktu yang lalu."

yaaa semacam itu..

Dengan mengajak ngobrol diri sendiri, saya nggak stuck dengan pertanyaan "Kenapa sih orang itu nyebelin banget, dia punya masalah apa sih"

Saya nggak fokus dengan orang, ya karena nggak selamanya kita mendapatkan perlakuan yang ingin kita dapatkan, kadang ada aja salah paham dan apapun itu.

Dengan cara mendengarkan diri sendiri, saya nggak menyalahkan diri sendiri hingga membuat saya terpuruk, karena kapasitas seseorang untuk mencerna dan memecahkan masalah ya sesuai dengan kemampuan saat itu. Setidaknya, kesalahan masa lalu sebagai pelajaran ke depannya.

Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, saya menangis selama 15 menit karena saya butuh ruang untuk menangis. Saya memberikan waktu selama 15 menit untuk mengungkapkan kedukaan saya akan kehilangan, setelah itu saya lanjut aktifitas. Selama 15 menit, saya tidak melihat hp, saya mencurahkan semuanya. Saya nggak cek email, nggak cek notif apapun itu, saya fokus dengan keinginan hati kecil saya untuk menumpahkan rasa sedih saya.

Bulan depan, sudah 4 tahun ketiadaan Mama di samping saya. Menulis ini bukan untuk membuka aib atau apapun, menulis sebagai salah satu cara untuk terapi, karena biasanya saya membaca lagi tulisan yang dulu, saya mencoba memahami perasaan saya pada saat itu. Dan saya masih kepayahan dengan perpisahan, maka perlu untuk membaca lagi untuk mengenal apa emosi yang saya rasakan saat itu. Saya hanya manusia biasa, kadang setrong, kadang ambyar karepe dewe. Jadi (bagi saya) penting untuk lebih mengenal diri sendiri, karena manusia selalu berproses.

Untuk kamu yang struggle dengan kehilangan, seberat apapun itu, serumit apapun pemahamanmu akan kehilangan, jangan pernah meninggalkan dirimu sendiri.

Posting Komentar untuk "Menerima, Melepaskan atau Melupakan?"