Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

5 Tahun : Sadar dan Menerima Rasa Kehilangan.


Dipisahkan oleh kematian, dikuatkan oleh kenangan dan kebaikan.

Sebenarnya ingin upload foto, biar nggak cuma tulisan doang, tapi nggak sanggup upload foto Mama, nanti buka blog bakalan mewek, ya udah deh upload foto diri sendiri yang gemoy ini. Suka banget lihat foto waktu kecil yang ketawa ngakak, ini tuh Bapak yang jepret, dan yang ngudang (apa sih bahasa Indonesianya) Mama, eh lah kok aku ketawa ngakak, seneng mengenang hal-hal yang membahagiakan.


Seperti tahun-tahun sebelumnya, menyempatkan nulis untuk Mama, namun kayaknya aku nggak sanggup deh menulis berdekatan di bulan beliau meninggal, bulan April. Ya udah lah Maret aja, Mama ulang tahun.


Nulis ini bukan perkara nggak ikhlas, hanya saja merindukan kebersamaan, kayak udah nggak punya waktu lagi untuk curhat dengan Mama, semua udah berubah dan kehidupan tetap berlanjut.


5 Tahun Memproses Rasa Kehilangan.


Manusia hanya bisa berharap, berdoa dan berjuang. Ketika seorang terkasih sedang sakit, pasti semuanya berharap akan kesembuhan, namun takdir berkata lain, bahkan aku nggak dapat tanda apa-apa ketika kehilangan Mama untuk Mama, terakhir kali hanya cium tangan Mama karena gantian sama Bapak untuk jaga Mama di RS.


Ternyata itu terakhir kali aku mencium tangan Mama..


Kepergian yang nggak ada tanda-tanda sebelumnya...


andai saat itu aku nggak pulang, andai saat itu aku masih nungguin Mama, dan masih banyak kata "andai" yang nggak ada gunanya, karena nggak bisa mengembalikan orang yang paling aku sayang.


Kematian membuat semuanya berakhir, berasa kayak nggak bisa ngapain lagi, nggak bisa berjuang lagi, berasa lemah banget jadi manusia.


Aku rasa, berada di titik paling ikhlas dan paling sabar ketika menjalani semua rangkaian merawat jenazah, mulai dari memandikan hingga mengantar ke pemakaman, terutama ketika memandikan dan menyolati, sulit banget nahan air mata, berhubung selalu dibilangin sama tetangga,


"Mbak, nanti kalau memandikan, Mbak Sari jangan nangis ya, air mata jangan sampai menetes kena Mama ya.."


Entahlah itu bener atau cuma mitos, tapi berasa amazing selama memandikan nggak nangis sama sekali, berada di titik paling ikhlas banget dan kayak syahdu banget dah, karena cuma aku sendirian, Mbakku belum sampai ke rumah, jadinya aku yang memandikan..


Selalu mencoba untuk menguatkan hati,


"Ma, ini baktinya Sari terakhir kali ke Mama, karena selanjutnya, cuma bisa doain Mama. Mama udah nggak sakit lagi. Jangan khawatir karena masih ada Bapak, Mbak, Mas dan teman-teman di sini. Semua baik-baik saja."


Memproses rasa sedih dan kehilangan..


Kesedihan semakin terasa setelah 7 harinya, ketika semua tamu dan saudara perlahan kembali ke aktifitas masing-masing, tapi aku menyadari kalau keseharianku nggak sama lagi kayak dulu, tapi semua harus tetap berjalan, karena kamu masih hidup!


Pengin tegar tapi hati masih ambyar, setelah 7 hari kayak orang linglung, kalau diajak ngobrol malah nggak kosong, masih nangis mulu sampai capek banget, nggak boleh di kamar sendirian karena dikira bakalan bengong mulu.


Sadar sih kalau hidup harus tetap berjalan, harus tetap tegar, tapi kayak bertanya-tanya, "Caranya gimana?"


Gilak banget rasanya, karena selama Mama masih ada, duniaku akan baik-baik, lah ini malah Mama yang nggak ada, aku harus ngapain?? Ikut Mama? Malah bikin dosa.


Proses menerima tergantung pribadi masing-masing, ada yang beneran menerima, ada yang mengabaikan, dan banyak cara untuk berkompromi dengan keadaaan yang dialami.


Tak terkecuali aku, proses penerimaan tuh PR banget bahkan sampai sekarang, tapi aku merasa lebih baik dari beberapa tahun yang lalu meskipun aku tidak akan bisa jadi orang yang sempurna lah yaaa..


Aku menyadari ada yang tidak berubah dari diri ini, aku kurang suka ngobrolin tentang Mama, bukan lebay atau terlalu hanyut sama kesediha, tapi rasanya nggak bisa aja. Terakhir kali curhat ke Bapak tentang Mama, langsung ambyar nangis deres.


Setelah melewati 7 hari setelahnya, kemudian dihadapkan dengan "tugas" merapikan baju-baju dan barangnya Mama, sedih yang semakin menjadi namun berbeda dari sebelumnya, di situasi seperti ini, beneran terasa harus merelakan yang sudah pergi. Pasti nangis, tapi kayak diri sendiri tuh kasih tanda, sudah saatnya merelakan, bertahap yaa..


Ternyata, kesedihan banyak bentuknya, mulanya sedih yang menyalahkan diri sendiri, "Apakah aku nggak becus merawat Mama?" , fase berikutnya sedih karena harus merelakan, baju-baju Mama yang aku lipat menyadarkanku jika selemah-lemahnya manusia adalah menghadapi kematian orang yang kita cintai, seberapa banyak air mata yang dikeluarkan, tak akan pernah melihat Mama lagi. Cara terbaik hanyalah merelakan, dan selalu mengingat kenangan dan nasihat dari Mama.


Kesedihan berikutnya,


Bertahun-tahun setelah kepergiannya, dan ternyata perjalananku masih panjang, harus memaksa diri untuk berani melewati hari esok, tak perlu menjadi sempurna, hanya menjadi diri sendiri tanpa paksaan, dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.


Terbiasa segala sesuatu ditangani oleh Mama, ya tentu saja hidupku berasa oleng ketika beliau tidak ada, 


Ternyata kesedihan yang aku alami setelah sekian tahun lamanya, lebih kompleks apalagi ketika berada di keadaan yang bikin aku lemah.


Salah satunya ketika beberapa bulan yang lalu berada di ICU, merasa campur aduk, pasrah banget kalau aku meninggal saat itu, tapi kok nggak ada Mama, rasanya pengin banget ketemu. Keadaan fisik yang terasa sakit, karena obat, masih pakai alat bantu pernapasan, suntikan, jalani tes, ditambah dengan psikis yang gak karuan, karena satu ruangan hanya ada satu pasien, selebihnya cuma diisi mesin, dan hanya ada perawat, sesekali ada dokternya.


Ternyata, tubuh ini nggak berhenti untuk berjuang, menunjukkan kemajuan, semakin sehat dan akhirnya di pindah ke kamar inap, antara bangga sama diri sendiri yang udah nggak berhenti berjuang, namun merasa kesepian karena melewati ini semua terasa sendirian, nggak ditemani Mama.


Menjadi dewasa ternyata banyak mengeluarkan air mata, tapi aku baik-baik saja..



Menulis jadi salah satu cara untuk memahami diri, meskipun kadang nggak tau mau nulis apa, atau banyak banget yang dialami, yang dipikirkan, namun yang ditulis hanya seuprit, postingan ini juga hanya seuprit dengan apa yang aku alami, tapi setidaknya dengan menulis, aku menemani diriku sendiri untuk menjalani prosesnya, karena setiap manusia itu berproses, semoga aku berproses jadi lebih baik.


Sekarang ini menyadari jika fase sedih bermacam-macam, nggak seperti 5 tahun yang lalu, tapi sekarang lebih sadar akan semua emosi yang aku alami, aku nggak akan lari dengan apa yang aku rasakan, dan memberi waktu untuk sedih.


Kadang, ketika kangen Mama, tiba-tiba sedih dan kemudian jadi minder, "Apa aku bisa menikah?", "Apa aku bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku?",


Pernah juga, sedih yang kemudian disusul dengan perasaan ragu, apakah aku sudah menjalani hidup dengan benar, apa aku sudah menjadi pribadi yang baik, apakah aku sudah menjadi anak yang baik bagi Mama?


Selain itu, ada juga sedih yang kemudian merasa bangga dengan diri sendiri, karena bisa sampai di sini dengan perjuangan, karena setelah melihat orang yang aku cintai telah pergi untuk selama, dan aku pernah hampir saja ketemu dengan kematian, aku berjanji untuk tidak akan menyiakan kehidupan, rasanya bersyukur diberi hidup, dan tidak akan menyakiti diri sendiri.


Untuk kamu yang sedang sedih karena merasa kehilangan, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Meski kadang nggak paham mengapa hal buruk terjadi pada kita, carilah jawaban yang ingin kamu temukan...


Huhuhuhu lega rasanya sudah nulis.


Aku selalu menjadi diri sendiri, tak akan pernah malu dengan diriku, karena aku bangga denganku, kurang dan lebihnya diriku, luv!



Posting Komentar untuk "5 Tahun : Sadar dan Menerima Rasa Kehilangan."