Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Saya Konseling? (2-end)




Suatu prose yang tidak mudah, dan akhirnya saya bisa melewatinya. Beberapa minggu yang lalu, merupakan hari terakhir saya untuk konsultasi ke psikolog, dan butuh waktu juga untuk menuliskannya karena bingung juga ingin bercerita.

Awalnya saya menulis karena ingin mengambil hak saya untuk membela nama baik saya. Tidak pernah menyangka perkataan buruk ke luar dari (mantan) orang yang saya cintai di depan keluarganya. Jika ingin bersama wanita lain, mengapa harus mengorbankan nama baik saya.

Saya tidak tau harus bagaimana, terputusnya komunikasi, jarak yang jauh, dapat perlakukan dengan perpisahan yang tidak adil, ditambah lagi dengan nama saya dijatuhkan begitu saja.

Saya sudah baik-baik minta penjelasan, tapi hanya tuduhan yang nggak berdasar menimpa saya. Bingung, apa yang harus saya lakukan… saya tidak tahu harus bagaimana..

 

Dengan menulis…

Mengambil hak saya untuk bersuara, saya marah, saya bingung, saya sedih, saya kecewa dan semua perasaaan saya ungkapkan lewat tulisan. Itu salah satunya cara yang bisa saya lakukan…


https://www.sariwidiarti.com/2021/05/mengapa-saya-konseling.html



Dengan menulis…

Saya mengetahui perjalanan saya untuk menemukan jati diri saya kembali. Tidak mudah untuk menulis sebuah proses ke psikolog.


Tenang saja, saya tidak mengumbar aib, tulisan di blog tidak begitu detail ketika saya berdoa kepada Tuhan maupun ketika sesi konseling.


Ternyata, ketika saya menulis, ada yang memberi semangat, dukungan dan virtual hug. Banyak juga yang bercerita tentang pengalaman tentang mental health, tidak hanya tentang percintaan, tapi ada cerita lainnya.


Dengan menulis…

Saya ingin membantu orang-orang atau kaum perempuan yang merasa struggle tentang permasalahan, kemudian saya menulis tentang cara ke psikolog. Alhamdulillah ada yang apresiasi karena sudah bertahun-tahun dia memendam “luka”, dan ngga tau harus bagaimana.

Saya tahu, memutuskan untuk pergi ke psikolog merupakan suatu keputusan yang paling berat, banyak pertimbangan yang mengitarinya.


https://www.sariwidiarti.com/2021/05/bagaimana-caranya-ke-psikolog.html



Saya tidak menjadikan mental health sebagai “tameng” agar dikasihani. Justru saya ingin tahu lebih banyak, maka saat sesi konseling sering bertanya meskipun di luar topik permasalahan utama.

Kita semua rentan terhadap luka, semua orang memiliki luka, dan cara untuk menangani luka itu juga berbeda.

Bagi saya, luka yang saya alami saat kemarin, merupakan pengalaman yang “baru”. saya tahu, sebelum-sebelumnya saya pernah patah hati, tapi tidak seprti ini.

Putus cinta kali ini berdampak pada psikis maupun fisik saya. Secara fisik, saya merasa mual, muntah, tiba-tiba nangis yang nggak tau apa sebabnya, bahkan dari dapur (waktu itu setelah selesai makan) menuju kamar tidur saya, tiba-tiba nangisnya deras.

Ketika itu saya sulit mendeskripsikan apa yang saya alami, ini tidak seperti saya yang biasanya.

Saya tidak bisa mengatasi perasaan yang saya alami, hingga sulit tidur, kalau sulit tidur (bahkan sering mimpi buruk), saya selalu merasa capek saat siang hari.

Daripada “perubahan” yang terjadi pada saya berdampak ke teman atau keluarga yang saya cintai. Saya butuh pertolongan.

Perjalanan konseling…

Saya sudah menulis tentang prosedur secara umum jika ingin konseling, untuk prosesnya tentu berbeda-beda setiap orang.

Pertama kali bercerita, mengungkapkan apa yang saya rasakan, hal yang bagi saya menyiksa. Awal pertemuan, saya menangis nggak terkontrol, menyakitkan rasanya diberi pertanyaan tentang masa lalu, “memanggil” kembali kenangan masa lalu.

Tentu saja karena manusia memiliki emosi yang berlapis-lapis, saya rasanya pengin nyerah ketika pertengahan, merasa kayak mengalami kemunduran. Berasa kayak nggak mampu meneruskan.


Tapi pelan-pelan saya paksa, saya tidak boleh mundur atau kabur dari permasalahan yang saya hadapi.

Percayalah, ke psikolog tidak akan menghakimi kamu, tidak mencari siapa yang salah, siapa yang benar, tidak pula diberikan kata-kata atau quote positif.

Insya Allah saya benar-benar ikhlas untuk konseling, saya sadar karena memulai dari awal. Saya menerima jika saya mungkin tertinggal dari teman-teman yang lain, saya memaafkan diri saya sendiri, tidak apa-apa jika saya “berjalan” perlahan-lahan, bahkan berhenti, yang terpenting saya tidak menyerah dengan apa yang saya jalani.


Menikmati setiap prosesnya,

Ternyata saya memahami dan saya menerima jika perubahan emosi saat awal mula, itu merupakan bagian dari diri saya.

Ternyata setelah rutin konseling, saya klop banget lah sama alur, ternyata Mbak Dhea (psikolog) memberitahu saya untuk mengakhiri konseling.

Kaget juga sih, ketika saya ingin “keluar”, menghentikan sesi, ternyata saya masih butuh bantuan. Ketika saya merasa nyaman, dan saya ikuti setiap arahan, ternyata saya harus mengakhiri.


Apakah ke psikolog membuat ketergantungan?


Saya dapat jawaban seperti ini ;

Psikolog hanya membantu klien untuk mandiri, berfikir dengan terbuka, dan mengatasi permasalahannya sendiri dengan berbagai sudut cara pandang..

Dengan bisa self healing dan mulai terbiasa, mulai tau mana pemicu yang harus dihindari, bagaimana rasa gundah itu muncul dan healing..


Oiya, ini sekedar pendapat, jangan dijadikan patokan untuk mendiagnosa diri sendiri, kita butuh bantuan profesional untuk masalah mental.


Setelah selesai konseling…

Saya dilatih untuk mandiri, mengurai permasalahan. Meskipun itu sulit dan tidak lantas cliiing.. ada jalan keluar atau permasalahan langsung selesai.

Setidaknya membantu saya untuk tidak overthingking, judgement secara sembarangan, atau tiba-tiba ke-trigger dengan luka masa lalu.

Setelah selesai dengan rangkaian konseling, saya tidak merasa paling benar, tidak merasa memiliki super power, tapi proses yang saya alami, lebih terarah untuk memutuskan suatu solusi.

Dapat masukan lagi, jika move on itu menerima, dan setelah itu tentunya bagaimana reaksi atau sikap kita setelah menerima.

Ke psikolog bukan untuk merasakan I Feel Better (ya tentu saja saya lebih baik dari keruwetan pikiran), tapi lebih dari itu. Sadar penuh dengan apa yang terjadi saat ini, bukan penyangkalan ketika dapat masalah.

Hmmm… bahasa lebih sederhananya, lebih memahami diri sendiri, mandiri, lebih wow dari sebelumnya, dan membuat saya lebih banyak belajar tentang perasaan.

Marah, sedih, senang, takut, dan segala macam, itu berlapis-lapis, ada sedih karena bahagia, ada sedih karena tersakiti,dll.

Ketika saya dapat masalah, saya lebih bisa memahami perasaan yang saya alami, memilah-milah juga, meski kalau dikerjakan ya sudah juga. Tapi nggak ada kata menyerah, atau keluar dari masalah yang hanya menimbun beban pikiran.


Apa selanjutnya?

Beberapa kali, saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Setelah ini, rencanamu apa? Saya malah bingung. Mbak Dhea juga beberapa kali tanya, saya cuma bilang dengan datar; “Belum punya rencana apa-apa? Tidak masalah kan jika manusia hanya ingin melewati harinya tanpa ada

Mungkin; kejadian kemarin adalah pengalaman buruk yang pernah saya alami dalam hal percintaan. Di sisi lain, saya menemukan diri saya, lebih mencintai diri sendiri.

Karena perjalanan hidup masih panjang, nantinya akan banyak menemukan pengalaman lain, jika terjadi ketidakberuntungan dalam hal percintaan (semoga cukup sekali saja pengalaman paling pait), pertama kali yang akan saya lakukan adalah memeluk diri sendiri, menyelematkan diri, memahami dan mencintai diri. Jangan pernah meninggalkan dirimu dalam kesedihan yang terlalu lama. Dirimu berharga, Sari.

Saya menerima segala kejadian di masalalu, tapi saya belum memaafkan apa yang ia lakukan terhadap saya.

Tenang saja, saya tidak dendam, hanya memang belum memaafkan orang itu. Saya tahu bagaimana menghandle perasaan ini. Tidak mengganggu aktivitas saya. Hanya belum memaafkan, itu saja.

Saya juga dapat masukan jika ingin membuka hati dan memulai hubungan baru dengan laki-laki baru. Meskipun saat ini, percintaan bukan prioritas saya, karena ingin berhati-hati untuk memilih pendamping. Tapi, saya tidak menutup diri.

Dan, akhirnya…

Saya merasakan perjalanan hati yang luar biasa, mendapatkan lebih dari yang saya kira, dan tentu saja, saya sudah mulai mencicil DL, tugas, dan menyusun rencana masa depan.

Semoga kita menjadi orang yang penuh cinta dan kasih sayang pada sesama, dan semua ciptaanNya.

Posting Komentar untuk "Mengapa Saya Konseling? (2-end)"